Istana Sisingamangaraja |
Untuk mengunjungi satu persatu situs budaya ini, mari kita berkunjung ke Bakara, dan kita awali kunjungan kita dari Dolok Sanggul sebagai pintu masuk menuju Bakara. Dari Simpang tiga di Dolok Sanggul kita menuju Panatapan untuk melihat keindahan lembah Bakara dari puncak bukit.
Selanjutnya dari panatapan kita akan menyusuri jalan menuruni lereng bukit menuju Lumban Raja. Terlebih dahulu kita akan melewati Desa Siunong-unong, barulah kita ketemu dengan Desa Lumban Raja. Disini kita akan melihat situs budaya paling penting yakni makam raja dan Rumah Batak sebagai lambang Istana Sisingamangaraja.
Di Lumban Raja kita akan singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi makan raja dan istana raja. Rumah Batak ini merupakan lambang istana Raja Sisingamangaraja. Berdekatan dengan istana raja, persis di pinggir jalan, ada juga tugu Si Raja Oloan yang merupakan generasi awal yang menghuni Desa Bakara. Turunan Raja Oloan ada 6 marga dan salah satunya adalah Marga Sinambela, dan dari keturunan marga inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Raja Sisingamangaraja.
Dari Lumban Raja kita menuju Desa Sinambela. Kita akan melewati Desa Sionggang, Simanullang, barulah tiba di Desa Sinambela. Disini kita akan melihat Satu Pohon Hariara, dan di sebelahnya ada satu Pohon Bintatar. Pohon ini diyakini sebagai tongkat Raja Sisingamangaraja, dan ada legenda bahwa dulu Raja Sisingamangaraja sering bergelantungan pada cabang pohon ini dengan kaki ke atas, dan kepala ke bawah. Hal ini akan diikuti oleh terbaliknya semua daun pohon Hariara menghadap ke bawah. Setiap kali hal ini terjadi, maka menjadi pertanda akan adanya bencana.
Kisah terbaliknya semua daun pohon Hariara ini masih sempat saya lihat sewaktu masih kecil, waktu itu terjadilah serangan hama wereng untuk seluruh tanaman padi yang ada di Bakara.
Sangat disayangkan, ketika saya pulang kampung di Bulan Juni 2015, saya tidak lagi melihat keberadaan hariara dan bintatar ini, menurut kabar yang saya terima, bahwa hariara dan bintatar ini telah rubuh sekitar dua tahun yang lalu, tanpa diketahui penyebabnya, rubuh sekaligus tanpa ada angin dan tanpa ada hujan. Banyak orang bilang, bahwa situs ini telah ditinggalkan oleh rohnya Sisingamangaraja karena kurangnya keperdulian dan penghargaan masyarakat setempat terhadap situs ini.
Dari Sinambela kita menuju Desa Simangulampe, disana ada Aek Sipangolu yang juga ada kaitannya dengan situs budaya Sisingamangaraja. Aek Sipangolu diyakini kadang mengalirkan air yang bercampur minyak. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika masih kecil. Suatu waktu saya minum airnya karena kehausan di perjalanan. Mata saya melihat ada butiran-butiran berkilau di atas air, dan ketika saya minum dengan menggunakan kedua telapak tangan saya, terasa ada yang berkilat di tangan saya. Pemilik Warung yang ada di Aek Sipangolu pun mengalami keheranan, ketika membersihkan piring dan gelas kotor, setelah disabun dan disiram air, piring dan gelasnya malah berminyak. Air ini sering dijadikan oleh-oleh dan dianggap mampu menyembuhkan penyakit.
Dari Aek Sipangolu akita akan berkunjung ke Marbun, kita akan melewati satu jembatan besar di Aek Silang. Di Marbun kita akan melihat masyarakat setempat sedang panen padi
Berdekatan dengan lokasi panen padi ini, ada gereja HKBP, dan di belakangnya ada sekolah yang dibangun persis di pinggiran kali Aek Silang. Di atas sungai Aek Silang ini dibangun satu jembatan yang dinamai Jembatan Rambing. Jembatan ini hanya ditopang oleh kabel baja, sehingga ketika melewatinya jembatan ini akan bergoyang.
Dekat dari lokasi jembatan ini, masih ada satu situs budaya yang berhubungan dengan Sisingamangaraja yakni Tombak Sulu-sulu, namun belum bisa saya tampilkan dokumentasinya disini. Di hutan/Tombak Sulu-sulu ini ada mata air yang menurut legenda orangtua, digunakan sebagai tempat mandi oleh Ibu Raja Sisingamanagaraja, dan di tempat inilah pertama sekali didengar adanya wangsit akan lahirnya seorang raja yang akan memerintah Orang Batak.
Oh ya, hampir lupa, karena saya masih lahir di Bakara, ada baiknya saya memperkenalkan kampung dan rumah orangtua saya di Huta Bagasan Simangulampe. Rumah orangtua saya masih berbentuk Rumah Batak yang sudah dimodifikasi dengan atap seng, dan sudah menggunakan tangga beton, kemudian sudah dimodifikasi dengan menambah bangunan di bagian belakang dan sebelah kanannya yang menempel dan menyatu dengan Rumah Batak itu sendiri. Coba kita lihat video berikut:
Dalam budaya atau tradisi Batak Toba dalam membangun Rumah Batak, biasanya dilengkapi dengan satu rumah kecil yang biasanya disebut sebagai Rumah Siamporik, biasanya difungsikan sebagai lumbung hasil panen. Rumah orangtua saya masih dilengkapi dengan sebuah rumah kecil, yang berfungsi sebagai lumbung padi, dna hasil panenan lainnya seperti bawang, atau cengkeh dan kopi. Rumah kecil ini dibangun persisi di hadapan Rumah Batak dibatasi oleh halaman, sehingga persis berhadap-hadapan dengan Rumah Batak.
Setelah melihat rumah dan huta kelahiran saya, saatnya kita pulang meninggalkan Bakara melalui jalur Dolok Sanggul. Sambil menikmati perjalanan pulang, kita akan singgah sebentar di SDN 173353 Simangulampe, tempat saya dulu sekolah SD, lokasinya berada di sebelah Gereja Katolik, disana juga ada rumah Oppung saya, yo kita lihat dalam video berikut:
Laporan dan dokumentasi situs budaya ini belumlah lengkap, masih ada tempat-tempat lain yang perlu kita jelajahi. Dan jika para pembaca artikel ini memiliki informasi, mohon kesediaannya melengkapinya dalam kolom komentar.
Terimakasih atas informasinya, salam mudar batak
BalasHapuswargabatak.olahaninternet.my.id